Oleh : Riska Casassi
“Kakaaakkk ….” teriak Dita mengagetkanku yang sedari tadi sedang melamun di kamar.
“Dita, masuk kamar nggak ngucapin salam malah ngagetin kakak.”
“Yee lagian siapa suruh ngelamun,” jawabnya dengan cengengesan. “Kak, tadi aku pulangnya diboncengin Faris lho,” ujarnya bersemangat.
“Sudah berapa kali kakak bilang sih, Dit? Jangan pacaran!”
Ah, Dita. Dia adikku satu-satunya. Dan aku pun kakak satu-satunya bagi dia. Kita bisa jadi sahabat, sekaligus lawan berdebat. Dia yang baru berusia tujuh belas tahun, empat tahun lebih muda dariku, memang lagi masa-masanya terkena virus merah jambu.
“Tapi Dita pacaran nggak ngapa-ngapain kok, Kak Syifa,” jawabnya mengelak.
“Kok tadi boncengan segala? Lagipula, kakak sudah pernah ngasih tahu kan. Zina itu bermacam-macam. Laa taqrobuzzina. Jangan dekati Zina, Dit.”
“Iya Dita tahu, Kak.” Wajah yang tadinya ceria kini merengut. Dia sebenarnya anak yang penurut, tapi masih labil juga. Hmm, abegeh.
“Putusin, Dita!”
“Kak? Tapi Faris sholeh kok.”
“Kalau dia sholeh, nggak mungkin mau pacaran. Ada-ada saja kamu ini.” Rasanya geregetan juga, tapi aku harus sabar. Dita masih membutuhkan bimbingan. Takkan kubiarkan dia terus-terusan dalam pergaulan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu.
“Eumm, oh iya, Kak. Faris itu rajin puasa sunnah lho.”
Laporkan iklan?
“Bukannya salah satu fungsi puasa itu untuk menahan hawa nafsu? Kenapa dia masih pacaran?” Aku yang sedari tadi duduk di depan meja belajar, kini berpindah di ranjang. Mendekati Dita yang masih mengenakan seragamnya. Lalu mencoba berbicara lagi dengannya, duduk berhadap-hadapan. “Apa lagi yang kamu banggakan dari dia, Dit?”
“Dia rajin sholat dan ngaji, Kak. Kayaknya dia calon imam yang cocok untuk Dita. Kita pacarannya islami kok.”
“Hahaha ….”
“Kok Kak Syifa malah ketawa sih?”
“Hehe lucu aja. Gini, Dit. Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Bukan malah mendekati perbuatan yang dilarang Allah. Kalau dia rajin ngaji, tanyakan sudah sampaikah pada ayat yang melarang untuk mendekati zina?” Aku menjelaskan sambil menatap wajahnya, sementara ia hanya menunduk. “Dit, nggak ada yang namanya pacaran islami, pacaran syar’i, sebelum akad nikah.”
“Ta-pi …, Kak,” ucapnya terbata-bata.
Aku segera merangkulnya, “Putusin, ya. Kalian masih SMA, masih banyak cita-cita yang belum tercapai. Lebih baik fokus dulu sama pendidikan. Sambil memperbaiki diri. Kalaupun jodoh, pasti akan dipertemukan kembali. Kalaupun tidak, nanti akan dipertemukan dengan yang lebih baik lagi.” Kudengar ia terisak, “Cukuplah Allah menjadi satu-satunya kekasih, Dit.”
Kulepaskan rangkulannya, lalu menghapus air mata yang telah membasahi wajah Dita.
“Makasih ya, Kak. Sudah jadi kakak yang baik buat Dita.”
“Maaf ya, Dit, kalau kakak banyak aturan. Tapi itu aturan dari Allah langsung kok, bukan dari kakak. Kak Syifa hanya menyampaikan. Karena Kak Syifa sayang Dita karena Allah.”
“Dita juga sayaaang Kak Syifa karena Allah,” lalu dipeluknya lagi tubuhku.
Tak terasa hari sudah sore. Adzan Ashar pun sudah berkumandang.
“Sudah ah, sana kamu mandi terus sholat ashar. Bau tau, wekk,” ucapku sambil meledek. Lalu dia cengengesan dan langsung lari ke kamarnya untuk siap-siap sholat ashar. Aku pun segera merapikan kamar, dan berangkat ke musholla.